‎Zulkarnain Kadir: Proses Hukum Gubernur Riau Harus Berkeadilan dan Transparan

Pekanbaru (BM) – Penetapan Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat perhatian luas dari masyarakat. Tokoh masyarakat Riau yang juga mantan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau, Dr. Zulkarnain Kadir, SH., MH, mengingatkan agar proses hukum berjalan secara adil, profesional, dan transparan, serta tetap menghormati hak-hak tersangka sebagaimana diatur dalam undang-undang.

‎Menurut Zulkarnain, dalam sistem hukum Indonesia seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka belum tentu bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Karena itu, asas praduga tak bersalah wajib dijaga dalam setiap tahapan penyidikan.

‎Ia menegaskan, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka memiliki hak-hak mendasar, seperti hak untuk segera diperiksa, mengetahui secara jelas tuduhan yang dialamatkan kepadanya, memberikan keterangan tanpa tekanan, didampingi penasihat hukum, serta mengajukan praperadilan apabila merasa penetapannya tidak sah.

‎“Penegakan hukum harus dilakukan secara profesional, transparan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jangan sampai ada kesan bahwa proses hukum dijadikan alat politik,” ujar Zulkarnain Kadir.

‎Publik, kata dia, menilai bahwa di tengah semangat pemberantasan korupsi, KPK tetap harus menjaga integritas dan objektivitas agar tidak menimbulkan kesan tebang pilih. Sementara itu, pihak tersangka diharapkan kooperatif dalam mengikuti proses hukum yang berlaku.

‎Zulkarnain menilai, proses hukum yang adil bukan hanya untuk membuktikan siapa yang bersalah, tetapi juga menjadi cermin bagi penegakan hukum yang beradab, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dapat terus terjaga.

‎Masyarakat Riau sendiri, lanjutnya, memiliki harapan besar agar KPK bekerja secara profesional, transparan, dan tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum di Bumi Lancang Kuning.

‎“KPK harus menjaga kepercayaan publik. Kami mendukung penuh pemberantasan korupsi, tapi jangan ada pelanggaran prosedur hukum. Semua harus dilakukan sesuai aturan,” tegasnya.

‎Zulkarnain juga mendorong agar KPK membuka informasi secara transparan agar tidak menimbulkan prasangka publik.

‎“Kalau KPK bekerja terbuka dan berdasarkan bukti yang kuat — bukan karena tekanan politik atau pesanan pihak tertentu — masyarakat pasti mendukung penuh,” ujarnya.

‎Selain itu, ia mengingatkan agar penyidikan tidak berhenti pada penetapan tersangka saja, tetapi juga menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain.

‎“Kasus korupsi jarang dilakukan sendirian. Kami berharap KPK menindak siapa pun yang terlibat tanpa pandang jabatan,” tambahnya.

‎Zulkarnain juga mengingatkan agar proses hukum yang sedang berjalan tidak mengganggu jalannya pemerintahan daerah. “Pembangunan dan pelayanan publik harus tetap berjalan. Rakyat tidak boleh menjadi korban dari persoalan hukum pejabatnya,” katanya.

‎Lebih lanjut, Zulkarnain menyoroti sejumlah pertanyaan publik yang masih belum terjawab terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang menyeret Gubernur Riau Abdul Wahid. Ia menyebut banyak versi yang beredar di media, mulai dari lokasi penangkapan hingga jumlah barang bukti yang ditemukan.

‎“Masyarakat Riau bertanya, apakah benar Gubernur ditangkap di kediamannya, di sebuah kafe, atau di barbershop? Kenapa muncul banyak versi? Apakah benar sebelum OTT sempat terjadi kejar-kejaran antara Gubernur dan KPK? Mengapa penetapan tersangka baru diumumkan setelah 36 jam, padahal dalam KUHAP batas waktunya 1×24 jam?” tanya Zulkarnain.

‎Ia juga mempertanyakan kenapa dari 10 orang yang diamankan KPK, hanya tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara tujuh lainnya dibebaskan.

‎“Apakah ini kasus korupsi, pemerasan, atau pengancaman terhadap ASN? Siapa sebenarnya pelapor kasus ini ke KPK — apakah pejabat, kepala dinas, atau masyarakat umum?” pungkas Zulkarnain.

‎Zulkarnain berharap, KPK menjawab seluruh pertanyaan ini secara terbuka demi keadilan, kebenaran, dan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah tersebut.***




Exit mobile version