Alami Tekanan Berat, Muflihun Siap Bongkar Fakta Korupsi SPPD Fiktif Setwan Riau

Pekanbaru (BM) – Beban yang sangat berat itu tak lagi dapat dipikul oleh seorang Muflihun. Hal ini sangat terlihat jelas dari raut wajah Mantan Pj Walikota Pekanbaru ini. Sejumlah nama pun banyak yang dikaitkan dengan kasus yang ditujukan padanya sehingga menjadi tekanan teramat berat bagi beliau, keluarga, dan karier politiknya.

Setelah lama memendam pedih, akhirnya Muflihun mengambil sikap untuk blak-blakan berbicara di hadapan publik terkait tudingan keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD (Setwan) Riau.

Didampingi tim kuasa hukum dari Kantor Advokat & Konsultan Hukum Ahmad Yusuf, SH & Rekan (AYLawyers), Muflihun lantang membantah keras tuduhan bahwa dirinya telah menikmati dana korupsi.

Setahun terakhir, Muflihun memilih bungkam. Bagaikan menahan goresan luka. Ia mengaku telah menghadapi tekanan luar biasa, stigma publik, pemberitaan negatif diberbagai media, hingga mengalami kegagalan dalam kontestasi Pilkada yang lalu.

Bukan dirinya saja, keluarga pun ikut menanggung beban tersebut. Istri dan anak-anaknya menuai cibiran, bahkan rumah pribadinya pun ikut disita. Sang ibu, yang sedang sakit juga menjadi korban dampak dari tuduhan yang menerpa dirinya.

“Sampai saya keluar rumah pun saya dianggap makan uang Rp198 miliar. Beban moral itu besar, kasihan istri, kasihan anak. Emak saya sakit,” ujarnya dengan nada berat kepada rekan media, Kamis (19/6/2025).

Muflihun mengatakan, dirinya hanya berperan sebagai pengguna anggaran sesuai prosedur. Tugas teknis, berada di tangan bendahara dan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), katanya.

“Saya hanya pengguna anggaran. Kalau saya tak sanggup menandatangani, saya tugaskan PPTK. Masa mereka tidak tahu uang keluar berapa,” ujarnya dengan nada kecewa.

Muflihun menyebut, pengguna SPPD tidak hanya Aparatur Sipil Negara (ASN), Tenaga Harian Lepas (THP) tapi juga anggota DPRD.

“Sama kami semua (pengguna SPPD), asal ada surat tugasnya. Kalau pegawai, Muflihun yang teken, kalau anggota DPRD, Ketua yang teken,” paparnya.

Selain disebut-sebut dalam dugaan korupsi, ia juga mengalami kekalahan politik di Pilkada Pekanbaru. Langkahnya terhalang karena harus menghadapi panggilan kepolisian.

“Saya maju Pilkada, pendaftaran bulan Agustus, 12 Juli saya dipanggil Polda. Cari perahu susah, saya terganggu. Akhirnya saya kalah,” sebutnya lirih.

Dalam pernyataan emosionalnya, Muflihun menegaskan bahwa ia telah menyerahkan seluruh proses hukum kepada kuasa hukumnya untuk berbicara, menyikapi, serta mengatur strategi mencari kebenaran dalam permasalahan yang dihadapi.

Ia percaya bahwa jalan kebenaran hanya bisa dibuka lewat proses hukum yang adil dan transparan.
“Saya diam. Saya yakin Allah tidak tidur,” ungkapnya.

Muflihun juga secara terbuka meminta agar institusi penegak hukum, Kapolri, Kabareskrim, hingga Presiden RI turut mendengar suaranya. Ia menyatakan siap menjadi orang pertama yang akan membongkar secara terbuka kasus ini, demi kejelasan hukum dan keadilan.

“Saya berharap ini terbuka dan Kapolri dengar, Presiden dengar, Kabareskrim dengar. Apa yang sebenarnya terjadi? Rp198 miliar itu uang yang tidak sedikit,” harapnya.

Seperti yang telah diketahui, kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di Setwan Riau Tahun 2020-2021 merugikan negara Rp195,9 miliar, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau.

Setelah hasil audit dikantongi, penyidik Subdit III Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau melakukan gelar perkara dengan Koordinator Staf Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri, Selasa (17/6/2025).

Hasil gelar perkara, dinyatakan inisial ‘M’ selaku Pengguna Anggaran dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat ditetapkan sebagai tersangka.

Penetapan tersangka akan dilakukan di Polda Riau, setelah notulen gelar perkara dalam rangka asistensi penetapan tersangka ditandatangani Kakortas Tipikor Polri.

Selain itu, penyidik tengah mengelompokkan sejumlah pihak yang terlibat, baik mereka yang memiliki kewenangan besar dalam proses pencairan SPPD fiktif, maupun pihak-pihak yang menerima aliran dana dalam jumlah signifikan.***

Exit mobile version