Ketika Nilai Ekonomi Menjadi Psikologi Baru Energi Bersih

Charly Simanullang, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen, Fakultas Eknomi dan Manajemen Bisnis, Universitas Riau

Perubahan perilaku masyarakat dalam mendukung transisi energi di Indonesia tidak terutama digerakkan oleh moralitas lingkungan atau “kesadaran hijau”, tetapi oleh rasionalitas ekonomi — yaitu sejauh mana masyarakat merasakan manfaat finansial dan nilai nyata dari penggunaan energi bersih.


Dalam perjalanan panjang transisi energi di Indonesia, wacana publik masih sering menempatkan moralitas lingkungan sebagai pendorong utama perubahan perilaku masyarakat. Narasi “kesadaran hijau” kerap dijadikan simbol komitmen terhadap masa depan berkelanjutan. Namun di balik retorika tersebut, terdapat kenyataan yang lebih membumi: perilaku energi masyarakat lebih banyak ditentukan oleh rasionalitas ekonomi ketimbang idealisme ekologis.

Temuan ini sejalan dengan hasil berbagai riset perilaku, termasuk penelitian Xing et al., (2022), yang menunjukkan bahwa niat hemat energi tidak semata lahir dari kesadaran moral, melainkan dari persepsi manfaat ekonomi yang terinternalisasi dalam bentuk perceived value (nilai yang dirasakan) dan personal norm (norma pribadi). Studi itu menemukan bahwa informasi konsumsi energi bangunan (building energy consumption information) tidak langsung mengubah perilaku, tetapi bekerja melalui mekanisme kognitif yakni bagaimana individu menafsirkan manfaat, risiko, dan nilai ekonomi dari tindakan hemat energi. Ketika seseorang memahami bahwa perilaku hemat energi memberikan keuntungan finansial yang nyata, niat dan konsistensinya untuk menerapkan perilaku tersebut meningkat secara signifikan.

Model tersebut berakar pada Social Cognitive Theory (Bandura, 1999), yang menegaskan bahwa perilaku manusia terbentuk melalui interaksi dinamis antara lingkungan, persepsi, dan tindakan individu. Dalam konteks energi bersih di Indonesia, kebijakan subsidi, kampanye efisiensi, serta transparansi harga merupakan elemen lingkungan yang mampu membentuk persepsi masyarakat tentang nilai ekonomi dan keandalan sistem energi nasional. Ketika kebijakan disampaikan secara konsisten dan kredibel, masyarakat mulai menginternalisasi nilai tersebut. Proses ini menumbuhkan rasionalitas kognitif, yang pada akhirnya mendorong tindakan nyata dalam penggunaan energi yang efisien dan berkelanjutan.

Lebih lanjut, Theory of Planned Behavior (TPB) (Ajzen, 1991) memperkuat kerangka ini dengan menjelaskan bahwa niat berperilaku muncul dari sikap (attitude), norma sosial (subjective norm), dan persepsi kontrol (perceived behavioral control). Dalam konteks energi, sikap konsumen terbentuk melalui pengalaman langsung terhadap nilai ekonomi energi bersih seperti kestabilan harga, efisiensi penggunaan, dan kepastian pasokan. Norma pribadi tumbuh ketika perilaku hemat energi tidak lagi dianggap sebagai tuntutan moral semata, melainkan bagian dari tanggung jawab rasional untuk menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga dan keberlanjutan sistem energi nasional.

Dari sisi teori hasil harapan, Outcome Expectancy Theory (OET) memberikan penjelasan mengapa faktor ekonomi menjadi pendorong yang lebih kuat. Konsumen akan bertindak ketika mereka yakin bahwa hasil yang diharapkan efisiensi biaya, kestabilan harga, serta keamanan pasokan energi benar-benar memberikan keuntungan nyata. Dalam hal ini, motif ekonomi berfungsi sebagai jembatan kognitif antara persepsi nilai dan niat berperilaku. Itulah mengapa masyarakat akan lebih responsif terhadap kebijakan energi yang memberikan bukti empiris atas efisiensi ekonomi dibandingkan kampanye moral yang abstrak.

Jika hasil penelitian tersebut ditempatkan dalam konteks Indonesia, dapat dipahami bahwa kebijakan energi bersih atau bersubsidi tidak akan efektif bila hanya didorong oleh narasi moral dan lingkungan. Efektivitasnya sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat merasakan langsung nilai ekonomi dari kebijakan tersebut baik melalui kestabilan harga, efisiensi biaya, maupun manfaat jangka panjang yang konkret. Ketika pengalaman nilai itu hadir dalam kehidupan sehari-hari, kepercayaan publik terhadap kebijakan energi akan tumbuh. Kepercayaan inilah yang menjadi katalis munculnya niat dan perilaku adopsi energi bersih secara berkelanjutan.

Dalam perspektif trust-based model, kepercayaan bukanlah hasil kampanye normatif, melainkan konsekuensi logis dari konsistensi manfaat yang dirasakan. Sama seperti objek penelitian mahasiswa dalam penelitian Xing et al., yang mempersepsikan manfaat ekonomi dari informasi energi lalu meningkatkan niat hemat energinya, masyarakat Indonesia pun akan mempercayai sistem energi bersih ketika bukti manfaat ekonominya benar-benar dirasakan di lapangan.

Oleh karena itu, badan usaha energi nasional semestinya tidak dipandang sekadar sebagai operator teknis, tetapi sebagai aktor pemasaran sosial (social marketer). Mereka berperan membentuk persepsi publik melalui pengalaman nilai yang nyata dan berkelanjutan. Tugas utamanya bukan hanya menjaga kinerja operasional, tetapi memastikan kebijakan subsidi dan transisi energi benar-benar berdampak rasional secara ekonomi bagi konsumen. Transparansi harga, keterbukaan informasi konsumsi energi, serta kampanye berbasis bukti penghematan menjadi alat strategis untuk memperkuat kepercayaan publik.

Teori-teori perilaku seperti SCT, TPB, dan OET tidak sekadar menjelaskan mengapa masyarakat bertindak, tetapi juga memberi peta jalan bagi pemerintah dan badan usaha dalam mendesain komunikasi publik yang efektif. Rasionalitas ekonomi dan persepsi nilai terbukti menjadi fondasi psikologis yang membentuk kepercayaan dan niat perilaku dalam adopsi energi bersih.

Rasionalitas ekonomi dan persepsi nilai terbukti menjadi fondasi utama yang membentuk kepercayaan dan niat dalam adopsi energi bersih. Di tengah tekanan ekonomi global, keputusan rasional konsumen bukan retorika moral tetapi  menjadi kompas utama yang menentukan arah dan daya tahan transisi energi nasional. Keberhasilan sebuah transisi dalam hal ini transisi energi Indonesia akan berhasil karena konsumen melihat  dan merasakan keputusan adopsi energi bersih merupakan keputusan ekonomi yang paling logis dan menguntungkan.***

Penulis: Charly Simanullang | Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen, Fakultas Eknomi dan Manajemen Bisnis, Universitas Riau

Exit mobile version