Jejak Panjang Rencana Korupsi Mantan Dirut WIKA ke Hutama Karya Terungkap

Jakarta (BM) – Korupsi pengadaan lahan di kawasan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) semakin terkuak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi beberapa bukti baru yang menunjukkan bahwa Bintang Perbowo (BP), Eks Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero), telah menyusun rencana korupsi sejak masih menjabat di PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA).

Berdasarkan temuan tersebut, disampaikan Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, usai pemeriksaan sejumlah saksi kunci di Gedung Merah Putih, Senin (13/10/2025).

“Saksi ketiga diperiksa terkait dugaan bahwa para tersangka sudah merencanakan jual beli tanah sejak tersangka BP masih menjabat di PT WIKA,” ujar Budi.

Informasi tersebut didapati dari Neneng Rahmawati, eks pegawai WIKA, yang menyebut Bintang telah berkomunikasi dengan pihak swasta jauh sebelum proyek JTTS berjalan. Diduga ia telah merancang mekanisme jual beli tanah melalui perusahaan PT Sanitarindo Tangsel Jaya (PT STJ), yang kemudian menjadi pihak penerima pembayaran fiktif dari Hutama Karya.

KPK juga memeriksa Andi Heriansyah dan Achmad Yahya, dua saksi yang mengetahui proses transaksi awal tanah milik masyarakat di Kalianda, Lampung Selatan, yang kemudian dijual ke PT STJ.

“Saksi satu dan dua didalami terkait proses penjualan tanah dari masyarakat ke tersangka korporasi,” jelas Budi.

Dalam modusnya, PT STJ membeli tanah milik warga—sebagian besar petani—dengan pembayaran tidak lunas, lalu menjualnya kembali ke PT Hutama Karya untuk proyek JTTS dengan harga berlipat ganda.

Pemeriksaan juga dilakukan terhadap Subehi Anwar, staf Satuan Pengawas Intern (SPI) PT Hutama Karya, yang dimintai keterangan mengenai prosedur pengadaan lahan serta temuan audit internal perusahaan.

Kasus korupsi ini menjerat Bintang Perbowo dan Muhammad Rizal Sutjipto (RS), mantan Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi PT HK. Keduanya kini ditahan di Rutan KPK untuk 20 hari pertama, sejak 6 hingga 25 Agustus 2025.

Menurut Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, tindakan keduanya menyebabkan kerugian negara mencapai Rp205,14 miliar. “Kerugian terdiri dari Rp133,73 miliar untuk lahan di Bakauheni dan Rp71,41 miliar untuk lahan di Kalianda,” ujarnya.

Kasus ini berawal pada April 2018, hanya lima hari setelah Bintang dilantik sebagai Direktur Utama Hutama Karya. Ia langsung menggelar rapat direksi yang memutuskan pembelian lahan di sekitar proyek JTTS, dan memperkenalkan temannya, Iskandar Zulkarnaen (IZ), pemilik PT STJ, sebagai penyedia lahan.

KPK menemukan berbagai penyimpangan dalam proses tersebut, antara lain:
Pengadaan lahan tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2018;
Risalah rapat direksi dibuat secara backdate;
Tidak ada SOP pengadaan lahan dan penilaian nilai wajar tanah oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP);
Pembayaran tetap dilakukan meski tidak ada rencana bisnis yang jelas atas lahan yang dibeli.

Hingga 2020, PT Hutama Karya telah membayar Rp205,14 miliar kepada PT STJ untuk 120 bidang tanah di Bakauheni dan Kalianda. Ironisnya, lahan tersebut hingga kini belum dapat dialihkan ke PT HK, sehingga tidak memberikan manfaat bagi negara.

Sebagai bagian dari penelusuran aset, KPK telah menyita 122 bidang tanah, 13 bidang milik PT STJ, dan satu unit apartemen di Bintaro, Tangerang Selatan, yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi.

Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KPK kini menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain, termasuk mantan pejabat BUMN lain yang disebut ikut menikmati keuntungan dari proyek fiktif tersebut. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

null