Paradigma Baru Pemasaran Energi Terbarukan: Vuca dan Masa Depan Energi

Masa depan energi akan dimenangkan oleh mereka yang paling dipercaya, bukan yang paling cepat berinovasi atau berpromosi. Kepercayaan dibangun melalui tindakan nyata, transparansi, dan ketulusan dalam melibatkan masyarakat.

Keberlanjutan sejati bukan lahir dari mesin atau teknologi, tetapi dari kesadaran manusia untuk menjaga bumi bersama.


Transisi besar dalam sejarah energi ekonomi modern tengah berlangsung yaitu peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan. Ini bukan sekadar pergantian sumber daya, melainkan pergeseran paradigma ekonomi yang menuntut perhatian mendalam dan strategi yang matang. Perubahan ini berhadapan dengan dinamika global yang sarat ketidakpastian yaitu fluktuasi harga energi, perubahan regulasi, tekanan geopolitik, hingga transformasi teknologi yang bergerak begitu cepat. Kondisi ini menjadikan industri energi, khususnya energi terbarukan harus memaknai apa yang disebut para perencana strategis sebagai dunia VUCA (volatile, uncertain, complex, dan ambiguous)

Dalam dunia yang penuh volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas ini, industri energi terbarukan ditantang untuk menata ulang cara berkomunikasi dan membangun hubungan dengan publik. Pemasaran tidak lagi cukup berhenti pada menjual “teknologi hijau,” tetapi harus bertransformasi menjadi strategi yang membangun kepercayaan dan nilai kemanusiaan di tengah pusaran perubahan global. Paradigma baru ini menuntut pemasar energi untuk mampu mengubah inovasi menjadi narasi, dan narasi menjadi kesadaran kolektif tentang masa depan energi yang lebih berkeadaban dan berkelanjutan

Volatilitas terlihat dari naik-turunnya harga bahan baku yang sangat sensitif terhadap kondisi geopolitik global. Ketidakpastian muncul karena kebijakan energi sering kali berubah mengikuti arah politik dan fiskal negara. Kompleksitas datang dari interaksi banyak pihak yaitu pemerintah, investor, masyarakat, lembaga keuangan, dan komunitas lokal yang semuanya memiliki kepentingan berbeda. Sedangkan ambiguitas tampak pada kaburnya batas antara inovasi dan kontroversi teknologi yang diklaim “hijau” sekalipun sering menimbulkan pertanyaan etis baru tentang keberlanjutan sosial dan dampak ekologis jangka panjang.

Dalam lanskap seperti ini, strategi pemasaran energi terbarukan tidak lagi bisa bertumpu pada logika lama. Keunggulan tidak cukup dibangun dari efisiensi teknologi atau keunggulan harga, melainkan dari narasi makna yaitu  narasi yang menghubungkan energi dengan kehidupan, nilai moral, dan tanggung jawab sosial. Di dunia yang serba fluktuatif, trust menjadi mata uang yang paling berharga, dimana energi bersih tidak akan diterima hanya karena murah atau canggih, tetapi karena diyakini membawa manfaat yang nyata bagi manusia dan lingkungan

Disinilah seni pemasaran bertransformasi menjadi tindakan membangun kepercayaan. Produk energi terbarukan harus berbicara bukan hanya tentang kapasitas daya atau efisiensi, tetapi juga tentang nilai sosial dan moral yang terkandung di dalamnya, serta  tampil sebagai simbol masa depan yang bersih, adil, dan manusiawi bukan sekadar perangkat teknologi. Perusahaan yang cerdas bukan yang paling gencar berpromosi, tetapi yang mampu menjelaskan, “Mengapa kita melakukan ini?” bukan hanya “Apa yang kita jual.”

Namun membangun kepercayaan di sektor energi bukanlah perkara mudah. Publik masih menyimpan keraguan terhadap janji “energi hijau” yang sering tidak diikuti transparansi atau akuntabilitas. Karena itu, strategi pemasaran perlu bergeser dari menjual janji (selling promises) menjadi menunjukkan bukti (showing proofs). Transparansi data, pelaporan dampak sosial, serta pelibatan komunitas lokal menjadi elemen inti dari komunikasi pemasaran modern.

Selain itu, kompleksitas sistem energi nasional menuntut pendekatan kolaboratif lintas sektor. Tidak ada satu pihak pun baik swasta, pemerintah, maupun masyarakat yang bisa berjalan sendiri. Ekosistem energi berkelanjutan hanya dapat tumbuh melalui sinergi antara riset akademik, inovasi industri, kebijakan publik yang konsisten, dan partisipasi sosial yang aktif. Dengan kata lain, strategi pemasaran masa depan bukanlah kompetisi antar-pemain, melainkan kolaborasi antar-pemangku kepentingan yang berbagi visi keberlanjutan.

Ambiguitas menjadi dimensi yang paling subtil sekaligus menantang. Pertanyaan seperti “Apakah energi tersebut benar-benar hijau jika bahan bakunya berasal dari proses tambang intensif?” adalah refleksi dari publik yang semakin cerdas dan kritis. Dalam situasi seperti ini, peran pemasar adalah menjernihkan, bukan menutupi, dimana pemasar bukan sekadar perancang kampanye, melainkan penjaga integritas informasi dan kepercayaan publik. Dalam industri yang sarat idealisme, kejujuran adalah strategi jangka panjang paling efektif

Dunia VUCA mengharuskan kita mendefinisikan ulang arti strategi itu sendiri. Dulu, strategi identik dengan rencana yang terstruktur dan kaku. Kini strategi adalah kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan bereksperimen secara berkelanjutan. Dalam konteks pemasaran energi, keunggulan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling cepat menjual, tetapi  siapa yang paling cepat belajar dari pasar dan beradaptasi tanpa kehilangan arah nilai. Perusahaan yang berani mencoba hal baru, membuka ruang dialog, dan mengintegrasikan umpan balik secara etis akan menjadi pemimpin sejati dalam industri energi masa depan.

Keberhasilan di era ketidakpastian menuntut keseimbangan antara agility (kelincahan) dan authenticity (keaslian nilai). Agility memungkinkan organisasi menyesuaikan diri terhadap perubahan eksternal, sementara authenticity memastikan bahwa adaptasi itu tidak berubah menjadi oportunisme. Perusahaan yang hanya mengejar momentum tanpa makna akan kehilangan jati diri, sedangkan yang mampu memadukan kelincahan dengan ketulusan akan menjadi teladan baru dalam ekosistem energi berkelanjutan.

Dalam perspektif pemasaran strategis, energi terbarukan bukan sekadar sektor bisnis masa depan, tetapi simbol peradaban baru yaitu peradaban yang lebih sadar, kolaboratif, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemasaran di sektor ini tidak boleh berhenti pada membangun permintaan (demand creation), tetapi harus menumbuhkan kesadaran publik. Kampanye energi bersih seharusnya tidak menjadi propaganda, tetapi bentuk edukasi sosial yang mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam perubahan. Pemasaran harus menjadi jembatan antara inovasi teknologi dan kesadaran manusia.

Penting untuk diingat bahwa transisi energi adalah perjalanan panjang, dimana keberhasilan akan diukur dari seberapa dalam kesadaran publik tumbuh. Di sinilah peran pemasar sejati, bukan sekadar menjual produk, melainkan menanamkan nilai, membangun makna, dan menumbuhkan kepercayaan. Karena pada akhirnya, keberlanjutan sejati tidak lahir dari mesin atau teknologi, melainkan dari kesadaran manusia yang menjaga bumi bersama.

Dunia boleh berubah cepat, kebijakan dapat berganti arah, dan teknologi akan terus berinovasi. Namun satu hal yang tetap yaitu masa depan energi akan dimenangkan oleh mereka yang paling dipercaya. Dan kepercayaan itu tidak dibangun dari kata-kata besar, melainkan dari konsistensi tindakan kecil, dari kejujuran dalam menjelaskan, keberanian untuk transparan, dan ketulusan untuk terus belajar bersama masyarakat.***

Penulis: Charly Simanullang | Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen, Fakultas Eknomi dan Manajemen Bisnis, Universitas Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

null